- Perkara
Apa yang dimaksud dengan perkara? Selama persengketaan rumah tangga belum diserahkan ke pengadilan, maka sepanjang itu pula sengketa tersebut tetaplah disebut sebagai sengketa, belum menjadi perkara. Setelah sengketa tersebut dituangkan dalam surat gugatan, dan para pihak membayar panjar biaya perkara, , barulah sengketa, prahara, perselisihan, atau apapun yang semacamnya itu, menjelma menjadi perkara.
- Relaas
Jika anda ditanya oleh Majelis Hakim dalam persidangan tentang Relaas, maka yang dimaksud adalah surat panggilan persidangan. Surat panggilan (relaas) merupakan penyampaian secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan. Tujuan relaas adalah agar para pihak memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan pengadilan.
- Para Pihak Berperkara
Ada perbedaan penyebutan antara yang mengajukan perkara perceraian dari pihak suami, dengan yang mengajukan perkara perceraian dari pihak isteri. Orang atau subjek hukum yang mengajukan perkara perceraian di pengadilan disebut sebagai para pihak atau pihak berperkara. Dalam hal perkara perceraian, jika yang mengajukan perceraian adalah pihak suami, maka sang suami selanjutnya disebutnya sebagai pihak “Pemohon”, sedangkan sang istri disebut sebagai “Termohon”. Sebaliknya, bila yang mengajukan perkara perceraian adalah dari pihak Istri, maka sang istri disebut sebagai “Penggugat”, sedangkan suami disebut sebagai pihak “Tergugat”. Kadang kala, subjek hukum yang berperkara di lembaga peradilan, secara umum disebut sebagai para pencari keadilan, atau biasa juga disebut sebagai para pihak berperkara, atau lebih singkat lagi, para pihak.
- Cerai Gugat dan Cerai Talak
Selain subjek hukum yang mengalami perbedaan yang signifikan antara yang mengajukan dari pihak istri dengan yang mengajukan dari pihak suami, maka jenis perkara perceraian yang diajukan pun mengalami perbedaan penyebutan. Perkara perceraian, jika perceraian diajukan oleh pihak istri (Penggugat) maka perkara itu disebutnya sebagai perkara “Cerai Gugat” atau yang disingkat CG.[1] Sedangkan jika ternyata perkara perceraian itu diajukan oleh pihak Suami (Pemohon), maka perkara demikian disebut sebagai permohonan “Cerai Talak” atau yang biasa disingkat menjadi CT[2]. Jadi, bagi istri yang berstatus sebagai Penggugat, maka surat yang diajukan disebut dengan surat gugatan cerai talak, sebaliknya sang suami yang menyandang status sebagai Pemohon, maka surat yang diajukan disebut sebagai surat permohonan cerai talak.
- Mediasi
Sebagaimana Perma Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, jika anda mengajukan perkara cerai di pengadilan, dan pasangan anda hadir pada sidang pertama, maka dapat dipastikan anda melewati mediasi terlebih dahulu sebelum melangkah ke pemeriksaan pokok perkara.[3] Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.[4]
Perlu adanya kesamaan persepsi mengenai pengertian perdamaian dan mediasi. Perdamaian adalah usaha penyelesaian sengketa melalui hakim, sedang mediasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan antara pihak yang berperkara, yang dibantu oleh mediator yang berkedudukan sebagai pihak ketiga yang netral yang tidak memihak atau cenderung kepada salah satu pihak berperkara. Mediator dalam hal ini berfungsi sebagai pembantu atau penolong (helper) dalam mencari berbagai kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling menguntungkan kepada para pihak.[5]
Jadi, mediasi dapat dikatakan sebagai perundingan antara para pihak berperkara yang ditengahi oleh seorang Mediator untuk mencapai perdamaian atau kesepakatan-kesepakatan tertentu.
- Iddah
Iddah adalah masa tunggu yang harus dilalui oleh sang istri untuk menahan diri agar tidak menerima pinangan orang lain atau tidak menikah dengan orang lain setelah terjadinya perceraian, atau setelah wafatnya sang suami.
Dalam Pasal 151 KHI disebutkan bahwa; bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Kemudian dijelaskan lebih lanjut pada pasal 153 KHI sebagai berikut;
- Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al-dukhul[7]dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
- Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
- Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al- dukhul,waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:
- Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
- Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
- Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
- Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.
- Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
- Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddahtidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.
- Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 154
- Apabila isteri bertalak raj`’i[8]kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
- Mut’ah
Mut’ah dapat diistilahkan sebagai “kenang-kenangan” yang diserahkan oleh suami saat menceraikan istrinya. Tidak ada patokan yang terperinci tentang besaran atau jumlah mut’ah yang diberikan oleh sang suami kepada sang istri yang telah diceraikannya. Begitu pula bila seandainya mut’ah yang akan diberikan ternyata dalam bentuk barang seperti emas, kendaraan, bangunan, atau yang semacamnya.
- Verstek
Istilah verstek sering dijumpai dalam putusan manakala salah satu pihak berperkara tidak pernah hadir sepanjang proses persidangan dilaksanakan. Jadi, bila anda menemukan kalimat dalam diktum putusan, atau anda dengar oembacaan putusan yang dibacakanoleh Ketua Majelis Hakim dalam persidangan yang berbunyi “Mengabulkan gugatan Penggugat/Pemohon seluruhnya/sebagiannya dengan verstek”, berarti suami/istri anda tidak pernah hadir di persidangan, meski telah dipanggil secara resmi dan patut.